SOEROTO - SITI SOEMANDARI


Blog ini disusun untuk memperingati 70 Tahun Pernikahan Soeroto - Siti Soemandari pada tanggal 12 September 1938-2008. Perjalanan hidup pasangan Soeroto & Siti Soemandari yang mengalami 3 zaman sejarah bangsa Indonesia sangat kaya dan penuh warna. Pahit-getir dan sukacita membangun keluarga merupakan bagian dari perjuangan masa penjajahan hingga masa perang kemerdekaan melawan kolonialisme Belanda dan Jepang yang ingin tetap menguasai Indonesia.
Meski tidak terlibat, namun peristiwa G30S menyeret seluruh keluarga ke masa penuh kepahitan. Dengan izin Allah SWT, pasangan ini kembali bangkit menatap hari depan penuh harapan. Semangat juang dan keteguhan hati Soeroto - Soemandari untuk mengabdi dan berbakti pada Nusa dan Bangsa.

MASA KECIL SOEROTO

Raden Soeroto bin Mertowinoto lahir di Jepara, 22 September 1912. Soeroto putera sulung Raden Mertowinoto dan Raden Ayu Soemilah dari Jepara. Mertowinoto seorang tokoh Nahdatul Ulama. Soenoto, adik Soeroto, pernah mengajar di Instituut Voor Modern Onderwijs (IVMO – Yayasan Pengajaran Modern).
Lulus MULO (Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs, kualitas diatas SMP) di Semarang, Soeroto sekolah di Algemene Middelbare School (AMS, kualitas diatas SMA) bagian A1 (sastera timur) di Solo, tapi tidak lanjut. Di AMS-A1 Soeroto naik dari kelas 1 ke kelas 2. Waktu AMS-A1 dipindah ke Jogya dan digabung dengan AMS-A2, Soeroto pindah ke Hollands Inlandse Kweekschool ”Goenoeng Sari” (HIK sekolah pendidikan guru berbahasa Belanda; kualitas diatas SGA) di Lembang. Karena pindah dari AMS-A1 kelas 2, maka di HIK hanya 2 tahun dan lulus tahun 1933.
Sejak lulus MULO (1931) Soeroto mulai bekerja dan aktif di organisasi pergerakan kemerdekaan pemuda, seperti KEPANDUAN BANGSA INDONESIA, INDONESIA MUDA, SURJA WIRAWAN, PARINDRA, di Solo,.Lembang, Kediri, Pekalongan.
Setelah lulus dari HIK (1933), beliau memilih menjadi guru di sekolah swasta sambil menulis artikel untuk suratkabar dan majalah.

KARIR SOEROTO (1933-1938)

1933 - 1934 : Guru ’Neutrale Muloschool’ milik Neutrale Schoolvereniging, Kediri.
1934 - 1936 : Guru ’Taman Dewasa’ Pekalongan.
Des. 1936 : Wartawan suratkabar ’De Locomotief’ dan ’Algemeen Handelsblad’, di Semarang.
1937 : Guru ’Eerste Gesubsidieerde Byzondere HIS Muhammadyah’ Solo.
Wartawan di majalah (2 mingguan) ’Bangoen’ berbahasa Belanda, Solo
Redaksi ’BANGOEN’ terdiri dari Soetopo Wonobojo (Pemimpin Redaksi), Soeroto, Dr. Soetomo (pendiri BOEDI OETOMO dan PARINDRA), Soetedjo Brodjonegoro (ayah Prof. Soemantri Brodjonegoro).
1938 : Kepala Sekolah IVMO di Pecangaan, Jepara.

Pilihan karir dibidang pendidikan banyak dipengaruhi rasa nasionalisme, yang kian tumbuh sewaktu di Lembang mondok di rumah Ir.Soekarno (Bung Karno). Mengabdi dibidang pendidikan dan jurnalistik tetap ditekuni sampai hari tuanya.

MASA KECIL SITI SOEMANDARI

Raden Ajeng Siti Soemandari binti Sastrohoetomo lahir di Jogyakarta, 9 Oktober 1908. Siti Soemandari adalah bungsu dari 5 bersaudara puteri keluarga Mas Ngabehi Sastrohoetomo di Madiun. Sastrohutomo ialah guru untuk bahasa2 Timur (Oosterse Talen) di sekolah Opleiding School voor Inlandse Bestuurs Ambtenaren (OSVIA). OSVIA, sekolah calon pamong praja dari Mantri Polisi sampai Bupati; kwalitas jauh diatas IPDN. Beliau dianugerahi bintang pengabdian kerja 30 tahun oleh Pemerintah Hindia Belanda, dengan pangkat Wedana serta atribut payung songsong. Sebagai mantan guru para Bupati, setelah wafat beliau dimakamkan di Taman, Madiun. Pemakaman Taman khusus untuk para bupati Madiun dan keluarganya.
Siti tumbuh menjadi seorang gadis yang energik, mandiri, cerdas dan modern. Sejak remaja ia aktif berorganisasi seperti kepanduan dan radio amatir. Tahun 1936 Siti dan Ali Sastroamidjojo mendirikan siaran radio EMRO (Eerste Madioense Radio Omroef) Selain pandai masak dan menjahit, Siti gemar membaca dan menulis.
Soemandari lulus MULO dan ingin meneruskan ke AMS, tapi tidak disetujui. Padahal masuk MULO tidak melalui Voorklas (kelas persiapan) tapi langsung kelas 1. (MULO terdiri dari Voorklas, Kelas 1, 2 dan 3). Sekalipun hanya lulus MULO, tapi dengan sumber bacaan yang bermutu dan perrgaulan dikalangan terpelajar, Siti meningkatkan pengetahuannya secara otodidak.

KARIR SITI SOEMANDARI

Semenjak tahun 1935 Siti menekuni dunia jurnalistik. Ia menulis artikel dalam bahasa Belanda di majalah-majalah ’ONZE BODE’ dan ’MATAHARI’ terbitan OSVIA. Artikelnya mengenai berbagai topik, kecuali politik.
Salah satu bidang yang menarik minatnya ialah filsafat kejawen. Siti menterjemahkan buku ’SERAT WEDATAMA’ karangan KGPAA Mangkoenagoro IV dari bahasa Jawa ke bahasa Belanda. Beliau juga menyelesaikan manuskrip lengkap ditulis tangan rapi dalam bahasa Belanda berjudul : ’Zelfkennis bij den Javaan’ (Pengenalan diri sendiri pada orang Jawa). Disamping itu Siti menulis naskah setebal 27 halaman tulisan tangan rapat yang diberi judul : ”Naar een duurzamer Vrede” (Menuju Perdamaian yang lebih langgeng).
Manuskrip ”Zelfkennis bij den Javaan” terdiri dari 140 halaman tulisan tangan rapat lengkap dengan Kata Pengantar, Daftar Isi (XII bab), Gambaran Umum setiap bab, Penutup dan Daftar Literatur. Sayang naskah itu tidak jadi dicetak meski topiknya kini masih aktuil. Manuskrip inilah yang mempertemukan Siti dengan Soeroto !

MASA PERKENALAN (1936-1937)

Manuskrip tersebut juga dikirimkan ke majalah BANGOEN di Solo. Bapak Soetopo Wonobojo minta pendapat Soeroto sebagai anggota redaksi. Tapi karena waktu yang diberikan hanya sehari, maka Soeroto tidak sempat membaca seluruhnya sekalipun kagum pada manuskrip dengan pemikiran yang sangat kritis itu.
Kala itu amat jarang wanita yang bisa menuliskan opininya secara kritis dan jernih, padahal usia Siti tergolong muda. Surat pertama Soeroto (Mr. Y) kepada Siti (Mrs. X) menyatakan kagum akan artikel Mrs. X. Selanjutnya Mr. Y memperkenalkan diri dan minta kesediaan Siti untuk berdiskusi langsung. Beberepa kali surat menyurat dalam bahasa Belanda sebelum menentukan kedatangan Soeroto ke Madiun.
Dalam pertemuan di setasiun Madiun, Siti membawa tanda bunga anyelir menjemput Soeroto yang datang dari Solo. Pertemuan awal itu berlanjut dengan korespondensi dalam bahasa Belanda dan Inggris yang sangat indah ! (Surat menyurat dalam bahasa Belanda dan Inggris umum dilakukan kalangan intelektual. Selain bahasa Indonesia belum berkembang, bahasa Jawa dirasakan mengurangi kebebasan berekspresi).

Disamping manuskrip itu Siti mengirimkan artikel lain ke majalah BANGOEN. Salah satunya perihal perjuangan wanita menentang poligami, sehubungan dengan rencana Pemerintah Hindia Belanda untuk mengajukan Ordonansi Perkawinan. Setelah dibaca dan dibahas masak-masak, akhirnya Soetopo Wonobojo dan Soeroto sepakat menerbit kan artikel itu. Dengan Kata Pengantar dari Soeroto atas nama redaksi Bangoen, maka artikel ’Huwelijksordonnantie en Vrouwenemancipatie’ (Ordonansi Perkawinan dan Emansipasi Wanita) dimuat berseri tahun 1937.

Hobi jurnalistik telah mempertemukan Siti dan Soeroto. Kesamaan hobi dan persepsi mengantar mereka ke jenjang pernikahan. Pada 12 September 1938 dilangsungkan pernikahan Soeroto dengan Siti Soemandari. Mulailah riwayat dan pepatah ’mimi lan mintuna’ bagi Siti & Soeroto (seterusnya disingkat SS). Babak baru kehidupan Siti dan Soeroto sebagai suami-isteri berawal di Cilacap.
Suri teladan dari beliau berdua, adalah sekalipun pendidikan dan kebiasaan keduanya sangat Western Oriented, tapi tidak pernah melupakan adat-istiadat Jawa / Ketimuran, bahasa Jawa Kromo Inggil, bahkan tulisan/huruf Jawa !

AWAL PERNIKAHAN DI
CILACAP (1938-1942)


Di Cilacap SS tinggal di Jl. Brugmenceng. Soeroto sering bertemu Bapak Soedirman, yang mengajar di HIS Muhamadiyah Cilacap. Semasa pendudukan Jepang Soedirman menjadi Daidanco PETA (Pembela Tanah Air), dan sesudah kemerdekaan menjadi Jenderal Panglima Besar dan Bapak TNI.
Selain mengajar di HIS Cilacap, kegiatan SS menulis artikel terus berlanjut. Artikel di kirim ke majalah (politik) nasional berbahasa Belanda ’Nationale Comentaren’ yang dipimpin Dr.GSSJ (Sam) Ratoelangi. Sejak itu Soeroto aktif korespondensi masalah politik dengan tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan, seperti Dr. Douwes Dekker dan Dr. GSSJ (Sam) Ratoelangi.

Suasana di Cilacap memanas menjelang serangan Jepang ke pulau Jawa. Perkiraan Belanda, Cilacap menjadi salah satu titik pendaratan tentara Jepang. Tentara Hindia Belanda (KNIL - Koninklijk Nederlands Indische Leger) siaga di pelabuhan meng- hadang serangan Jepang. SS harus menjadi anggota Lucht Beschermings Dienst (LBD - bantuan penanggulangan serangan udara); dan piket bersama mendengarkan siaran radio bermalam-malam di perlindungan bawah tanah.
Pertempuran antara tentara Jepang dan Belanda, tidak sampai menjadi peperangan kota. Serbuan pasukan Jepang membuat tentara Belanda melarikan diri ke Australia. Kota Cilacap selamat dari kehancuran total dan menyelamatkan penduduk Cilacap. Tatkala terjadi kekosongan penguasa, SS masing-masing menaiki sepeda mengungsi ke Madiun. Perjalanan melalui Kroya, Kebumen, Sumpyuh dan Jogya. Di Jogya SS naik kereta api. Tiba di Madiun malam hari sesudah delapan hari perjalanan.
Tentara Jepang menduduki Cilacap dan kehidupan masyarakat pulih. SS kembali ke Cilacap. Tidak lama tinggal di Cilacap, Soeroto mendapat pekerjaan di Jakarta, dan membawa keluarga pindah ke Jakarta.

MASA PENDUDUKAN JEPANG
DI JAKARTA & MADIUN (1942-1945)


Di Jakarta SS menyewa rumah di Laan Trivelli (Jl. Tanah Abang II). Tidak lama SS pindah ke Toninaweg (jl. Batujajar). Terakhir SS pindah ke Jl. Molenvliet Oost, yang berganti nama Yamato Bashi Kitta Doori (Jl. Hayam Wuruk). Rumah ini ditempati sampai terpaksa ditinggal ke Madiun /Jogya tahun 1945.
Waktu pindah ke Jakarta, Soeroto mendapat pekerjaan sebagai redaktur di suratkabar ASIA RAYA. Pemimpin Umumnya R. Soekardjo Wirjopranoto (era Orde Lama jadi Duta Besar RI), Pemimpin Redaksi Winarno, dan Administraturnya A.S. Alatas (ayah Alex Alatas mantan Menlu RI dalam kabinet Orde Baru). Setelah kemerdekaan Asia Raya menjadi MERDEKA. Selain redaktur Asia Raya, Soeroto bertugas sebagai Sekretaris Djawa Shinbunkai Honbu (Perserikatan Penerbit Surat-kabar Djawa) yang berlokasi di Noordwijk (jl. Juanda). Beliau merangkap tugas di kantor dan tugas membaca pidato di radio Djawa Hosho Kyoku (sekarang RRI).

Di Molenvliet Oost lahir Siti Kasihan (11/11-1943), yang usianya hanya 1 hari. SS menyesal menyerahkan kelahiran Siti Kasihan kepada bidan. Lahirnya Sita (1/9-1944) di klinik dr. Soeharto. Pemeriksaan kehamilan Sita pernah dilakukan di rumah SS. Saat Soeharto santai dengan Soeroto, datang Bung Karno menjemput dokter karena Ibu Fatmawati merasa akan melahirkan Guntur.
Tahun 1945 SS membawa Sita ke Madiun dan Jepara. Naik kereta api dari Semarang ke Kudus. Dari Kudus ke Jepara naik andong. Dugaan usai perang keadaan aman, tapi setiba di Jepara terjadi pertempuran 5 hari di Semarang.
Selama di Madiun, situasi di Jakarta kacau. Tentara NICA merajalela dan bertempur kian seru dengan para mahasiswa/pelajar, pemuda bekas PETA dan HEIHO. SS tetap di Madiun menunggu Jakarta aman. Sewaktu SS masih tinggal di Madiun, bapak Sastrohoetomo wafat. Di Madiun lahir Atiek (17/2-1946) dibantu dokter.

MASA REVOLUSI AGRESI BELANDA DI
YOGYAKARTA (1946-1949)


Sementara itu ibukota Pemerintah Republik Indonesia dengan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohamad Hatta telah pindah dari Jakarta ke Jogyakarta.
Di Jogya Soeroto bekerja di Kejaksaan Agung sebagai Kepala Bagian Pers mengawasi penerbitan pers. Naluri jurnalis Soeroto terusik, ketika membaca artikel DN. Aidit soal Borjuis Kecil. Polemik Soeroto dengan DN Aidit disiarkan koran BOEROEH, yang berafiliasi ke PKI (komunis).

SS tinggal di Yogya selama revolusi melawan Agresi Belanda. Saat itu Jogya penuh dengan pengungsi dari kota-kota Jakarta sampai Bekasi / Klender yang diduduki Belanda. Banyak rumah menerima para pengungsi.
Soeroto mendapat info, bahwa Belanda akan menyerang ’daerah pedalaman’ (istilah untuk daerah yang dikuasai Pemerintah RI). Info itu ternyata benar, Juli 1947 Belanda menyerang lewat udara daerah Cirebon hingga Tegal yang masih dikuasai Indonesia. Kehidupan di Jogya dan daerah RI lainnya tidak terpengaruh, walau berjalan dengan keterbatasan daerah yang terisolasi dari laut dan udara.
Waktu itu SS sudah pindah ke Jl. Kemetiran Kidul, masuk gang di samping Tempat Pemandian Umum Pathuk. Rumah induknya menghadap jalan di belakang kantor dan asrama Polisi Pathuk, tapi bagian belakang yang dihuni SS menghadap ke gang yang menghubungkan TPU Pathuk dipinggir jalan Kemetiran Kidul dengan pedesaan di sebelah barat Jogya. Peran gang ini sangat penting pada masa pendudukan Belanda dan sewaktu Serangan Umum 1 Maret 1949, karena dipakai lalu-lintas para pejuang dari luar kota saat melakukan serangan ke Jogya.

Di rumah Jl. Kemetiran Kidul lahir Myrtha (5/11-1947) di Rumah Sakit Panti Rapih sebelum pendudukan Belanda. Witarko lahir (8/2-1949) di rumah pondokan dengan bantuan bidan dalam masa pendudukan Belanda.

Serangan Belanda ke Jogya terjadi tepat pada hari Bung Karno akan berangkat ke India (Desember 1948). Sekitar jam 7 pagi diatas Yogya beberapa pesawat Belanda berputar-putar disusul dengan serangan darat dari arah Semarang. Tiba-tiba benteng Fort Marlborough di depan istana (Gedung Agung) ditembaki. Serangan udara gencar ditujukan ke Lapangan Terbang AU Maguwo, disusul penerjunan pasukan payung. Sekitar jam 15.00 pasukan Belanda sudah ada di sekitar TPU Pathuk.

MASA KOMITE PERJUANGAN RAKYAT
DI JEPARA 1949-1950


SS berniat membawa keluarga ketempat yang lebih aman, dengan mendaftar menjadi pegawai Belanda dan minta ditempatkan sebagai guru di Jepara. Pada waktunya SS berangkat naik truk konvoi militer Belanda menuju ke Semarang (23 Mei 1949). Belakangan diketahui, bahwa hal itu amat riskan karena konvoi Belanda sering di hadang oleh para pejuang. Setiba di Semarang SS sekeluarga berangkat ke Jepara, tanpa kawalan militer Belanda.
Semua itu dilakukan SS, karena Soeroto mendapat tugas rahasia dari Kementerian Pertahanan RI untuk membentuk gerakan perlawanan rakyat dibawah tanah/ illegaal didaerah Jepara dan sekitarnya. Alangkah berbahaya ikut konvoi Belanda dengan membawa surat tugas menyusun gerakan bawah tanah !
Tatkala SS tiba di Jepara, daerah Jepara-Bangsri-Keling-Kelet-Pati-Kudus dan sekitar Gunung Muria merupakan daerah aman tenteram seolah sudah mapan sebagai daerah Hindia Belanda. Tidak terasa sedikitpun getar perlawanan para pejuang bahkan TNI terhadap Belanda seperti di Jogya. Padahal disana ada markas Komando Tentara dan Teritorial Karesidenan Pati, Brigade 7 Divisi III dengan Kepala Staf Mayor Moenadi selaku Brigade Majoor daerah Pati, ada Komando Daerah ’Muria’ di daerah Muria/ Kudus dibawah Mayor Koesmanto, ada pasukan gerilya dibawah Letnan I Hartono, Letnan II Moeslim, Letnan II Soetikno di daerah Karangnongko. Keberadaan mereka tidak dirasakan masyarakat. Kondisi itu diketahui Kementerian Pertahanan di Jogya, yang menugaskan Soeroto membentuk gerakan bawah tanah !! Soeroto harus kontak dengan TNI Komando Daerah Muria dibawah komandan Mayor Koesmanto.

Dirumah tidak terasa adanya tugas ganda Soeroto. Soenoto (Not) yang bekerja pada intelijen IVG sering berpakaian tentara Belanda naik sepeda masuk kedesa-desa, yang dikhawatirkan dibunuh para pejuang. Not yang fasih berbahasa Belanda bertugas di IVG membuka sandi-sandi TNI, tapi juga mengirim rahasia IVG ke TNI.
Soeroto menyusun KOMITE PERJUANGAN RAKYAT dan berhasil membentuk jaringan didalam dan diluar kota. Didalam kota anggota jaringan meliputi perwakilan jawatan-jawatan Pekerjaan Umum, Sosial, Penerangan, dan Kantor Pos Pecangaan, Asisten Wedana Kota Jepara, Camat Mlonggo dan satu peleton Polisi dipimpin Inspektur Soetedjo. Tugas Pram ialah kurir kepercayaan mengantar surat, panggilan rapat, dan lain-lain. Diluar kota Soeroto membentuk Pemerintah Daerah Bayangan, terdiri dari para Wedana, Asisten Wedana / Camat dan Lurah.
Komite Perjuangan diperbantukan pada Komando Muria, karena belum punya kontak langsung ke Kementerian Pertahanan. Tugasnya meneruskan instruksi Pemerintah RI (atau dari Komando Daerah Muria) sampai ke desa-desa terkait perjuangan, dan pengumpul bantuan untuk Komando Daerah Muria. Bantuan obat, makanan, ternak, dan lainnya, disiapkan sewaktu-waktu RI kembali ke ibukota, maka Pemerintah Daerah Bayangan harus siap melaksanakan tugas sebagai Pemerintahan efektif.

Kegiatan Komite Perjuangan segera diketahui umum, termasuk pihak Belanda. Tiba-tiba saja Soeroto di tangkap Belanda. Rumah SS digerebeg untuk mencari bukti-bukti hubungan Soeroto dengan TNI. Berkat kesigapan Siti menyembunyikan surat-surat dari ’luar’, bukti tidak ditemukan. Tapi Soeroto tetap dibawa. Untung penggerebegan tidak terjadi malam kemarin.
Karena malam itu dihalaman depan diikat puluhan kambing sumbangan dari para pendukung RI. Didalam rumah menumpuk obat-obatan dan makanan bahkan peluru untuk disumbangkan ke Komando Muria. Seorang kurir dari Komando Muria juga menginap dirumah. Bayangkan bila penggerebegan terjadi malam itu !
Setelah tahu Soeroto ditahan di Jepara, Siti menemuinya di penjara. Keesokan harinya Siti naik dokar sendirian dengan menyamar menuju ke Semarang menemui Gubernur Sipil / Gubernur Militer RI, Bapak Maladi, untuk melaporkan penangkapan Soeroto. Hal itu terjadi setelah tercapai penghentian tembak-menembak (cease fire) antara RI dan Belanda. Soeroto hanya ditahan 3 hari dan dibebaskan.

Setelah Pengakuan Kedaulatan RI (1950), Jepara dikosongkan dari serdadu Belanda, dan pasukan TNI masuk kota. Upacara penerimaan pasukan TNI di alun-alun Jepara dengan Inspektur Upacara Kolonel Gatot Soebroto, Panglima Divisi Jawa Tengah.
Namun Soeroto dan Komite Perjoangan tidak lagi terlibat dalam Panitia Penerimaan TNI. Padahal semua persiapan TNI masuk kota dilakukan oleh Komite Perjoangan, termasuk pengamanan kota selama prosedur pergantian tentara Belanda ke TNI yang akan dilakukan oleh Polisi anggota Komite Perjoangan. Mengapa Soeroto dan Komite Perjoangan ngambek?
Menurut para pengamat, segera setelah Pemerintah Daerah bentukan Belanda tahu TNI akan masuk kota dan mengambil-alih kekuasaan di Jepara (Desember 1949), mereka mengutus gadis-gadis anak para pejabat di Jepara (Bupati, Wedana, Patih, Sekretaris Daerah, Pembantu Bupati, Jaksa, dan lainnya) menemui pimpinan pasukan gerilya di Karangnongko sambil membawa hadiah berupa mentega, barang kalengan, rokok, pakaian dan uang. Dengan permintaan, orang tua mereka tidak di gusur oleh Pemerintah Daerah Bayangan versi Komite Perjuangan.

Akibatnya keluar Surat Perintah Harian dari Tentara NasionaI Indonesia Commando Daerah ’Muria’ tanggal 10 Desember 1949 yang ditanda tangani Letnan I Soetikno atas nama Commandant Co Dh ’Muria’, agar Panitya PMI (Panitia Penerimaan TNI) diketuai oleh Sdr.Wiroto (Direktur PU bentukan Belanda) dan wakilnya Sdr.Soeroto. Perintah lain yang bertentangan dengan itu dinyatakan tidak berlaku lagi. Maksudnya membatalkan perintah tanggal 26 November 1949 yang ditanda tangani Majoor Koesmanto, Commandant Co Daerah ’Moeria’, agar Sdr. Soeroto membentuk adanya ’pemerintah Civiel di Jepara dan menyusun Panitia Pembantu TNI illegaal tanpa mengurangi kekuasaan Pemerintah Militair’. Dalam Surat Perintah lain bertanggal sama dan ditanda tangani oleh Majoor Koesmanto, Sdr. Soeroto bahkan diperintahkan ’supaya mengadakan pengawasan seluas-luasnya terhadap penyusunan pemerintah Militair oleh Letnan I Hartono dan dalam hal-hal tersebut hanya berhubungan langsung dengan Majoor Koesmanto’.
Soeroto tidak dapat menerima Surat Perintah tanggal 10 Desember 1949 dan menolak bekerjasama dengan kaki tangan Belanda, apalagi jadi wakilnya. Maka ketika keluar Surat Perintah tanggal 12 Desember 1949 dari instansi yang sama dan ditanda tangani oleh Major Koesmanto, berisi pembatalan surat perintah tanggal 10 Desember 1949, Soeroto tetap mengembalikan mandat.
Suasana di Jepara terasa keruh dan tegang oleh dukungan TNI yang mendua. Dengan Bupati Militer Letnan I Hartono (dari kelompok Karangnongko) yang mendukung kelompok Pegawai Belanda, maka anggota Komite Perjoangan merasa tertekan. Rupa nya pengembalian mandat Soeroto menyulut kemarahan pihak TNI, termasuk Mayor Koesmanto, yang selama kegiatan Komite Perjoangan bekerjasama cukup erat dengan Soeroto. Hal ini disesali Soeroto, karena beliau terpengaruh oleh anak buahnya yang sejak semula ada yang dicurigainya sendiri.

Pertengahan Desember 1949, ditengah jam pelajaran sekolah, mendadak SMP Negeri Jepara dikepung oleh Polisi Militer. Mereka menangkap Soeroto, dengan alasan ia tidak memenuhi panggilan penguasa militer untuk didamaikan dengan Pemerintah Daerah bentukan Belanda yang masih berkuasa, dan tidak melaksanakan perintah militer untuk membubarkan Pemerintah Daerah Bayangan versi Komite Perjuangan. Tindakan yang sangat kasar terhadap seorang pejuang sejati dihadapan khalayak di siang hari sungguh sangat memukul hati dan perasaan SS !!!
Padahal tugasnya membangkitkan perlawanan terhadap Belanda dilaksanakan dengan baik. Soeroto pun bertemu secara pribadi dengan Mayor Moenadi di Semarang yang menerima semua laporannya lisan maupun tertulis. Setelah peristiwa itu SS ingin segera kembali ke Jakarta untuk menetap dan berkarir disana. Hubungan Soeroto dengan Mayor Moenadi tetap baik sampai keberangkatan SS ke Jakarta.
Rasa kecewa membuat SS tidak ingin mengurus kartu Veteran pejuang kemerdekaan. Tapi demi kebanggaan keluarga dan sebagai bukti, bahwa SS suami-isteri pejuang, dan warganegara yang loyal/setia (istilahnya ’non-kooperatif’), maka SS mengurusnya dan memperoleh kartu anggota Veteran RI tahun 1962. Meski memiliki kartu veteran, namun SS tidak pernah sekalipun menggunakan haknya sebagai veteran.

MEMBANGUN KELUARGA (1950-1965)
DI Jalan Krawang

Soeroto melamar mengikuti kursus 2 tahun B-I (setingkat Middelbare Onderwijs/MO Acte – Sertifikat Guru Pengajar Sekolah Menengah) untuk mata pelajaran Sejarah. Lamaran disetujui dan SS sekeluarga pindah ke Jakarta.
Tiba di Jakarta, SS harus berjuang mencari tempat tinggal. Ada banyak rumah kosong yang ditinggalkan Belanda, tapi SS harus menumpang. Pembagian rumah diatur oleh instansi HOB; diganti Pemerintah RI menjadi Urusan Perumahan Djakarta (UPD). Tapi para ’penguasa baru’ dari Jogya lebih berhak menentukan peruntukan rumah kosong di Jakarta. Setiap penghuni harus memiliki VB (Vestigingsbewijs) yang di-indonesia-kan Surat Izin Penempatan (SIP). Setelah berjuang di HOB/UPD, akhirnya SS mendapat rumah di Jl. Banyuwangi atas dasar VB/SIP.
Disini lahir Erica (28 Maret 1951) di klinik Dr. Suharto. Sita sekolah di Sekolah Rakyat Latihan SGA (kini SD Mexico) di Jl. Jawa (Jl. HOS Cokroaminoto), disusul adik-adiknya sampai semua lulus SD disini.

Soeroto mengajar di SMP Canisius College pagi hari, dan sore/malam kursus B-1 di Fakultas Sastra UI. Disela waktu itu sekali seminggu menulis artikel untuk suratkabar Merdeka. Beliau pergi mengajar dan kuliah naik sepeda.
Artikel-artikel perihal perlunya penulisan ulang buku sejarah Indonesia, agar ditulis sendiri oleh ahli-ahli Indonesia dari sudut pandang Asia dan Indonesia, menarik minat Penerbit Djambatan untuk membiayai penerbitan buku sesuai gagasan itu. Waktu itu buku-buku sejarah Indonesia disadur dari buku-buku sejarah Belanda yang ditulis berdasarkan kacamata Belanda.
Sejak itu kesibukan Soeroto bertambah dengan menulis buku sejarah untuk SMA berjudul Indonesia di Tengah-Tengah Dunia dari Abad ke Abad. Tahun 1954 jilid I dan II terbit, yang mendapat sambutan hangat. Jilid III untuk kelas 3 SMA terbit tahun 1955. Selama 10 tahun buku sejarah ini digunakan di seluruh Indonesia ! Bukan hanya di SMA tapi juga di Perguruan Tinggi. Bahkan hingga sekarang buku tersebut masih menjadi rujukan penulisan sejarah Indonesia !!!

Siti kembali ke UPD dan berhasil mendapat rumah di jl. Krawang. Karena kondisi ekonomi cukup berat, maka Siti ikut bekerja di Essence Indonesia Jatinegara, di toko buku Van Dorp, dan di Cultuur Maatschappy Nederland.
Soeroto lulus B-I (1952) dan lulus B-II Sejarah (lulus 1954), yang setara dengan Sarjana S1 dan S2 tanpa gelar. Beliau melanjutkan kuliah di Fakultas Sastra jurusan Sejarah melalui collocium doctum (ujian masuk); dan lulus Sarjana Sastra jurusan Sejarah (1962) bergelar doctorandus (= Master, ekivalen S2 sekarang). Lulus B-II beliau mendapat jabatan di Departemen Pendidikan & Kebudayaan sebagai Kepala Inspeksi Sejarah & Ilmu Bumi.

Antara tahun 1955-1961 Soeroto memegang beberapa jabatan sebagai :
- Lektor Luar Biasa di Perguruan Tinggi Pendidikan Guru, Bandung (1955).
- Lektor Kepala Luar Biasa di Perguruan Tinggi Jurnalistik, Jakarta (1956).
- Lektor Sejarah Indonesia di SSKAD, Bandung (April 1956)
- Guru Besar Sejarah Nasional Indonesia di SSKAD (Oktober 1957)
- Direktur Kursus BI/BII Sejarah (Mei 1957)
- Lektor Luar Biasa di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (1961)
- Jabatan terakhir adalah Dekan IKIP, Jakarta (1965).
Soeroto juga bertugas di Komite Ad Hoc Dokumentasi Sejarah TNI (1962-1963) dan
Anggota Gugus Tugas Kompilasi Buku Sejarah Indonesia, Dept. Pendidikan. Selain itu anggota Panitia Sejarah Nasional Museum MONAS.

Soeroto terus menulis buku dan artikel. Antara 1955-1959 mengisi kolom tetap di harian Suluh Indonesia berjudul ’KILAT’ dengan nama samaran Mas To. Kecuali buku sejarah untuk SMA, beliau menulis buku sejarah untuk SMP dan SD. Antara lain Zaman Silam (1953-1975), dan Sejarah Tanah Air I, II (1953-1977). Buku lainnya dapat dilihat pada blog ini. Buku ’Sejarah Tanah Air’ pernah diterjemahkan dan digunakan sebagai buku sejarah untuk SD di Jepang (1983).
Sementara Siti mengisi rubrik tetap ’Pergolakan Wanita’ di harian Merdeka (1954-1955). Kemudian mengisi rubrik tetap ’Gelora Wanita’ di harian Suluh Indonesia (1955-1959). Pada prinsipnya kedua rubrik tersebut ingin membuka wawasan kaum wanita dalam upaya mengangkat derajat wanita Indonesia. Sebagaimana artikel yang ditulis 1937 berjudul : ’Huwelijksordonnantie en Vrouwenemancipatie’ (Ordonansi Perkawinan dan Emansipasi Wanita).
Sejak awal rubrik gencar memperjuangkan RUU Perkawinan segera disahkan DPR, untuk menjamin hak-hak wanita dalam pernikahan. Masalah itu diangkat berturut-turut dalam artikel 1 sampai 17. Siti mencontohkan 3 tokoh ulama Islam Modern yang punya visi sama perihal menghapus poligami. Sayid Amir Ali tokoh reformasi Islam Modern dari India, menekankan motto : ’Polygamy is disappearing or will soon disappear, under the new light in which hid words are being studied’.Tokoh reformis gemilang akhir abad 19, Syech Mohammad Abduh, ialah pemimpin pembaharu Islam terbesar dari Mesir. Tahir al-Haddad tokoh modernis Islam dari Tunisia. Pandangan mereka mendorong Siti untuk lebih keras berjuang menghapus poligami.
Wawasan luas diperoleh Siti dengan membaca buku-buku bermutu bahasa Belanda dan Inggris. Diantaranya kitab-kitab spiritual Serat Centini, Serat Bharatayudha, Serat Dewaruci, juga Ramayana dan Bhagawad-Gita. Buku biografi tokoh-tokoh, seperti Pandita Ramabai, Mahatma Gandhi, Bung Karno, Bung Hatta.

Tahun 1964 Siti mengikuti perjalanan inspeksi Soeroto ke Jawa Tengah. Melewati Salatiga SS teringat disana tinggal Ibu Kardinah, adik RA. Kartini. Dalam kunjungan mendadak itu, Ibu Kardinah menyerahkan 3 buah lukisan karya Kartini, Rukmini, Kardinah kepada SS untuk koleksi Museum Sejarah.
Soeroto (anggota Panitia Sejarah Nasional MONAS) menyerahkan 3 lukisan tersebut kepada Prof. Dr. Prijono, selaku Ketua Panitia Sejarah Nasional. Panitia MONAS di bubarkan setelah peristiwa G30S. Ketiga lukisan antik itupun ikut raib hingga kini !!!

Tragedi Nasional G30S berdampak serius pada ekonomi keluarga. Soeroto kehilangan pekerjaan sebagai Pegawai Negeri. Sita dan Atiek yang kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia terkena schorsing 2 tahun.
Padahal SS bukan anggota PKI. SS adalah anggota PNI pimpinan Ali Sastroamidjojo. Kebetulan rumah SS dan Pak Ali bersebelahan. Kisruh dualisme dalam PNI membuat anggota PNI-Ali tersingkirkan. Banyak anggota partai yang ditangkap. Kedekatan hubungan dengan Pak Ali diduga penyebab Soeroto di’rumah’kan oleh Dept. PDK.

Awal era Orde Baru adalah masa-masa sulit yang harus dilewati SS. Tahun 1975 buku buku sejarah Soeroto dilarang beredar. Diganti program Paket Buku Pemerintah. SS kehilangan sumber utama penghasilan keluarga. Gaji pegawai ikut dihentikan akibat pemecatan Soeroto dari PDK. Akhirnya SS menjual rumahnya dan pindah ke Tebet (1967). Disini SS menata kembali kehidupan keluarganya.

MASA PANCAROBA
Di Tebet (1967-1982)


Percakapan panjang di Salatiga menggugah naluri jurnalis Siti yang bertekad untuk menuliskan perjuangan besar RA. Kartini, agar diketahui oleh segenap putra bangsa. Tahun 1969 Erasmus Huis mengadakan ceramah Drs. Rob Nieuwenhuys, ahli sastera Hindia Belanda dari Negeri Belanda. Siti berkenalan dengan Rob, yang mendukung rencana menulis riwayat Kartini. Rob berjanji mengirimkan bahan-bahan mengenai Kartini yang ada di Negeri Belanda. Rob mengunjungi rumah SS tahun 1970.
Bahan-bahan dari Negeri Belanda diterima, dan segera dibaca, diteliti dan diseleksi. Naskah yang disiapkan sejak 1971 dan ditulis selama 4 tahun (1971-1974) kemudian diberi judul ’KARTINI SEBUAH BIOGRAFI’, yang terbit perdana April 1977.. Sekalipun ada tawaran dari Negeri Belanda melalui Kedutaan Besar Kerajaan Belanda di Jakarta untuk menerbitkan buku itu, tetapi SS memilih Penerbit Gunung Agung. Jiwa nasionalisme ikut menentukan pilihan itu. Buku ini telah diterjemahkan kedalam bahasa Jepang. Ringkasan dalam bahasa Belanda terbit berjudul ’KARTINI Pionierster van de Indonesische Onafhankelijkheid en Vrouwenemancipatie’ (KARTINI Pionir Kemerdekaan Indonesia dan Emansipasi Wanita). Cetak ulangnya berturut-turut tahun 1979, 1982, 1983, dan 1986. Pada tahun 2001 terbit cetakan ke-6 dengan beberapa revisi dan edit sesuai amanat penulisnya.
Seiring gencarnya sambutan media cetak dalam dan luar negeri atas terbitnya biografi tersebut, maka sutradara Syuman Djaja mengangkat riwayat Kartini ke layar lebar. Film ’KARTINI’ (1982) dibuat berdasarkan buku ’Kartini Sebuah Biografi’.

Soeroto kembali menekuni dunia jurnalistik sebagai penulis freelance. Topik bahasan artikelnya masih seputar pendidikan dan politik dimuat di harian Merdeka, Kompas, Sinar Harapan. Hal ini berlangsung sampai terjadi Peristiwa Malari 1985.
Tahun 1975 Soeroto menyusun Seri Sejarah Indonesia didukung Penerbit Mutiara dan sejarawan lain. Tiga judul dipilih Soeroto : ’Sriwijaya Menguasai Lautan’ (1975), ’Wijaya Pendiri Majapahit’ (1978) dan ’Sejarah Proklamasi’ (1982). Beliau juga menulis buku sejarah untuk SMP : ’Sejarah untuk SMP’ (1978-1980).
Di dunia pendidikan Soeroto mengajar di Universitas 17 Agustus 1945. Ceramah dan diskusi panel mengisi hari tuanya. Beliau dipercaya memimpin Lembaga Penelitian Sejarah Nasional UNTAG (1985-1990).
Kesulitan ekonomi tidak terhindarkan. Sita dan Atiek lulus sebagai dokter. Ming, Koko dan Erica butuh biaya kuliah. Sita berangkat ke Jerman Barat sebagai dokter (1973). SS memutuskan menjual rumah dan pindah ke Cinere, di selatan Jakarta.

HARI TUA DI CINERE
1982 - wafat 1994/1996


Disini SS menemukan suasana baru, dimana Atiek, Koko, dan Erica sekeluarga juga tinggal di Cinere. Pram tinggal di Cileduk, sedang Ming bersama SS. Kebahagiaan SS bertambah dengan hadirnya 10 orang cucu.
‘Kartini Sebuah Biografi’ merupakan karya monumental yang disambut hangat badan kebudayaan internasional. Dituliskan Mr. Juji Imura dari Imura Cultural Enterprise : ‘... biografi Kartini adalah salah satu dari 20 buku terbaik dari literatur Asia untuk diterjemahkan kedalam bahasa Jepang’. Menurut Dr. Bouman : ‘Judul itu amat rendah hati untuk suatu karya monumental. Judul buku seharusnya ‘Kartini Sebuah Biografi serta Analisa Pada Zamannya’.
Pakar bahasa Dr. Anton Moeliono menyatakan : ‘Sebagai wartawati, yang menurut saya berdarah seni, Anda menciptakan karya dengan gaya bahasa lugas, serta susunan kalimat dan ejaan yang baku. Jarang kita jumpai paduan yang berhasil seperti ini’.

Buku ini juga puncak prestasi Sitisoemandari sebagai jurnalis. Beliau mempersembahkan sebuah buku berharga bagi Bangsa dan Negara. Kita patut berbangga, karena biografi Kartini berhasil dibukukan oleh wanita Indonesia (Jawa) - seorang putra bangsa. Bukan oleh bangsa asing !

Ibu Soemandari berpulang pada 2 Februari 1994 pk. 07-30 WIB dalam usia 85 tahun. Kenangan manis ‘In Memoriam’ diberikan para sahabat beliau. Diantaranya Dr. Cora Vreede-De Stuers, Dr. H. Bouman (penulis Meer Licht Over Kartini), Maria Boleen, Rob Nieuwenhuys, Mrs. Megumi Funachi, dan Dr. Pandam Guritno. Dr. Cora Vreede menurunkan artikel ‘Siti Soemandari Ter Herinnering’ pada jurnal KITLV, Bijdragen Deel 150 – 1e Afleveling 1994. Pandam Guritno menghaturkan Kidung Pamuji – bentuk puisi Jawa dengan tembang sastra sinandi. Tembang berbahasa kromo inggil yang berisi puji-pujian untuk mengenang kepergian almarhumah, disertai pengantar : Kidung Pamuji punika kaanggit mengeti lelabuhanipun suwargi Ibu Siti Soemandari Soeroto ingkang nyerat buku ‘KARTINI’.
Soeroto wafat menyusul isteri yang sangat dicintainya pada 14 Desember 1996. Atau sekitar 1000 hari setelah wafatnya Siti Soemandari. SS dimakamkan di Jeruk Purut mendampingi makam putri pertamanya Siti Kasihan. Pandam Guritno menghaturkan Kidung Pepuji bagi almarhum, disertai pengantar : Kidung Pepuji mawi sandi sastra punika kaanggit mengeti lelabuhanipun suwargi Bapak Soeroto. Kedua Kidung yang indah itu dipahatkan pada nisan Siti Kasihan. Suku kata pertama dari tiap baris merupakan kalimat berisi doa tulus seorang sahabat, Pandam Guritno, yang mengagumi dan menghormati pasangan Soeroto - Soemandari.



Kidung Pamuji : ‘Bu Siti Sumandari Surata mugi nampi nugrahaning Gusti’.
Kidung Pepuji : ‘Drs. Soeroto mugi tansah pinayungan Gusti’.